Download Applikasi UC Browser Kekinian

Friday, January 2, 2015

Automatic Dependent Surveillance-Broadcast System Teknologi Baru untuk Lacak Posisi Pesawat Terbang di Udara

Amerika dan Eropa akan menerapkan sistem Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B), untuk mengirim posisi pesawat secara berkala kepada pengawas lalu lintas udara dan pesawat-pesawat lain di dekatnya.

Tahun 2014 bukanlah tahun yang baik bagi keselamatan penerbangan, karena dua pesawat berbadan lebar jatuh ke laut, bersama 401 penumpang dan awak pesawatnya, karena penyebab yang belum jelas.


Petugas radar dan sonar di pesawat milik Angkatan Udara Australia AP-3C Orion dalam misi pencarian pesawat Malaysia Airlines MH370 di Samudera India

Dalam kedua kasus itu, komunikasi dengan pesawat tiba-tiba hilang, sebelum pilot-pilot itu sempat melaporkan permasalahannya. Pesawat-pesawat yang melakukan penerbangan melewati laut dan jauh dari daratan berada di luar jangkauan radar dan sistem radio di darat daratan.

Komunikasi satelit dan teknologi navigasi seperti GPS dan telpon satelit, memungkinkan komunikasi dengan pesawat udara dan menentukan lokasinya.


"Alasan mengapa kita tidak mempunyai teknologi ini di semua tempat adalah biaya," kata Michael Braasch, seorang guru teknik elektronika Universitas Ohio.

“Kemampuan mengirim pesan-pesan melalui penyedia komunikasi satelit memerlukan biaya dan sampai belum lama ini tidak ada kebutuhan mendesak untuk dapat melacak pesawat dari detik ke detik,” kata Michael Braasch.

Pilot-pilot diwajibkan melaporkan posisinya secara berkala, sehingga Pengawas Lalu-lintas udara atau Air Traffic Control (ATC) dapat terus mengetahui lokasi mereka. Namun, Dalam keadaan darurat yang memerlukan keputusan cepat, seringkali pilot tidak punya waktu untuk menelpon.

Pada awal Desember, Persatuan Transportasi Udara Internasional menerbitkan sebuah laporan yang menganjurkan, bahwa setiap pesawat dilengkapi dengan sebuah sistem yang melaporkan posisi pesawat tanpa keterlibatan pilot. Braasch mengatakan, sebagian maskapai penerbangan anggota organisasi itu enggan menerapkan anjuran itu.



“Umumnya adalah karena alasan tambahan biaya dan keharusan memasang sistem yang disetujui. Secara teknologi,tidak ada masalah. Ada sistem navigasi berdasar satelit semacam GPS, ada teknologi komuniasi satelit selama lebih dari 20-25 tahun,” lanjutnya.

Selain itu, sebagian pilot berkeberatan jika ada sistem elekronik mandiri di pesawatnya yang tidak bisa dimatikan jika terjadi kebakaran. Sejauh ini, hanya alat perekam data penerbangan yang disebut “kotak hitam” yang tidak dapat dikontrol pilot.

Braasch mengatakan, setelah bencana pesawat Malaysia Airlines bulan March lalu, jelas bahwa sesuatu harus dilakukan.

“Kita kehilangan sebuah pesawat berbadan lebar dan kita tidak tahu pesawat itu berada di mana dan dalam dunia sekarang ini, itu benar-benar tidak masuk akal,” imbuhnya.

Amerika dan Eropa sedang bersiap-siap untuk menerapkan sebuah sistem yang disebut Automatic Dependent Surveillance - Broadcast (ADS-B), yang didesain untuk mengirim posisi pesawat secara berkala, kepada pengawas lalu lintas udara dan pesawat-pesawat lain di dekatnya.

Sistem itu akan diwajibkan bagi sebagian pesawat di Eropa selambat-lambatnya tahun 2017 dan di Amerika selambat-lambatnya tahun 2020.


Sumber : Voa Indonesia

Thursday, January 1, 2015

5 Alat Canggih Dilibatkan Dalam Pencarian Black Box AirAsia QZ8501

Setelah serpihan pesawat AirAsia ditemukan, tahap pencarian selanjutnya adalah mencari black box, yang bisa menjadi kunci penyebab AirAsia jatuh ke laut. Laut Jawa, tempat ditemukannya serpihan-serpihan itu, berkedalaman 25-30 meter. Maka, selain melibatkan penyelam, alat-alat canggih juga dilibatkan seperti ini:

Pinger Detector

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) berusaha mencari tahu keberadaan black box pesawat AirAsia QZ8501. Alat yang digunakan berupa 6 buah Pinger Detection.

"Ada 6 Pinger Detector yang akan dipakai untuk mencari sinyal emergency yang menempel di blackbox (kotak hitam)," kata Kepala KNKT Tatang Kurniadi, saat dihubungi detikcom, Selasa (30/12/2014) malam.


Pinger Detector

Alat emergency yang dimaksud Tatang adalah Underwater Locator Beacon (ULB) yang menempel di black box yang mengeluarkan sinyal darurat. Pinger detector selanjutnya akan mendeteksi bunyi tersebut.

"Bisa mendeteksi suara hingga 200 meter," ujar Tatang.

Enam alat Pinger Detector yang akan digunakan merupakan milik KNKT, KNKT Singapura dan KNKT Inggris. Rencananya, tim pencari blackbox ini akan mulai bergerak dari Tanjung Pandan sekitar pukul 06.00 WIB.




Remote Operator Vehicle (ROV)

Bila lokasi black box sudah diketemukan, maka robot yang disebut Remote Operated Vehicle (ROV) akan digunakan. Alat ini akan mengangkat benda-benda dalam laut yang dalam.

ROV digunakan untuk banyak hal di dalam air, beberapa di antaranya untuk kepentingan eksplorasi minyak lepas pantai, termasuk perakitan pipa, elektronik, dan konstruksi.


Remote Operator Vehicle (ROV)

ROV ini juga digunakan untuk mengangkat black box Adam Air di perairan Majene Sulbar dari kedalaman laut 2.000 meter. ROV yang digunakan untuk mengangkat AdamAir saat itu adalah jenis ROV Remora yang bisa menjelajah hingga kedalaman 6 ribu meter.

Yang akan membawa ROV dalam SAR AirAsia adalah tim survei yang beranggotakan Ikatan Surveyor Indonesia dan Asosiasi Kontraktor Survey Laut Indonesia membawa sejumlah peralatan canggih yang biasa digunakan untuk pemetaan bawah laut.

"Jadi nanti kami akan cari objek dengan sonar, setelah itu akan dibuat peta dalam bentuk 3D setelah itu ROV akan diturunkan untuk mengambil gambar visual berupa video dan foto," kata kata Ketua Ikatan Alumni Geodesi ITB yang tergabung dalam tim survei, Henky Suharto, di pelabuhan Tanjung Priok, Rabu (31/12/2014).


Multibeam Echosounder

Multibeam echosounder, menurut situs National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), alat ini digunakan untuk survei di laut dalam, menentukan letak kedalaman benda seperti bangkai kapal, penghalang, dan objek-objek lainnya.

Alat ini juga akan dibawa tim survei dari Ikatan Surveyor Indonesia dan Asosiasi Kontraktor Survey Laut Indonesia.


Multibeam Echosounder

Alat ini, seperti sistem sonar lainnya, memancarkan gelombang suara dalam bentuk kipas yang dari langsung di bawah lambung kapal. Sistem ini mengukur dan mencatat waktu yang dibutuhkan sinyal akustik dari transmitter atau pemancar ke dasar laut atau objek dan kembali lagi. Dari pergerakan sinyal akustik itu, bisa diketahui jarak kedalaman benda.

Dengan cara ini alat ini menghasilkan cakupan area luas survei. Cakupan area di dasar laut tergantung pada kedalaman air, biasanya dua sampai empat kali kedalaman air.


Side Scan Sonar

Tim dari Ikatan Surveyor Indonesia dan Asosiasi Kontraktor Survey Laut Indonesia juga akan membawa side scan sonar. Side scan sonar adalah sistem khusus untuk mendeteksi benda-benda di dasar laut. Kebanyakan sistem pemindaian samping tidak dapat memberikan informasi mendalam.


Side Scan Sonar

Seperti sonar lainnya, side scan sonar ini memancarkan energi suara dan menganalisa sinyal kembali (echo/gaung) yang kembali dari dasar laut atau benda lainnya. Side scan sonar biasanya terdiri dari tiga komponen dasar: towfish, kabel transmisi, dan unit pengolahan.


Submersible Vehicle

Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) menyatakan butuh suatu alat bernama submersible vehicle untuk mengevakuasi pesawat AirAsia bernomor penerbangan QZ 8501. Tapi Indonesia tak punya alat itu dan harus meminjamnya dari mancanegara. Apa sebenarnya submersible vehicle itu?

Submersible vehicle bila diterjemahkan tentu saja berarti kendaraan selam. Namun bukan berarti ini sama dengan kapal selam. Bila diperhatikan, submersible vehicle terlihat lebih ringkas secara ukuran. Dikutip dari berbagai sumber, submersible vehicle merupakan kendaraan kecil yang didesain untuk menjangkau kedalaman lautan, bahkan hingga kedalaman bertekanan tinggi yang tak mungkin manusia bisa berada pada titik kedalaman itu.


Submersible Vehicle

Submersible vehicle tak bisa beroperasi sendiri layaknya kapal selam, melainkan butuh 'kapal induk' yang berada di atas permukaan air. Kendaraan yang tidak sepenuhnya otonom ini masih membutuhkan dukungan dari kapal di permukaan laut, mereka dihubungkan oleh semacam tali atau saluran.

Submersible hanya memuat sedikit awak dengan ruang yang sempit. Kendaraan ini dirancang sedemikian rupa untuk tahan terhadap tekanan air yang tinggi di kedalaman laut. Ada pula sejenis submersible yang dinamakan marine remotely operated vehicles (MROV) yang tak menggunakan awak.

Namun demikian, submersible jenis apa yang bakal digunakan untuk mengevakuasi AirAsia? Pihak Basarnas belum jelas betul menjelaskannya. Hanya saja, submersible itu bukan ROV yang tak berawak.

"Kita masih belum bisa bicara lebih jauh, karena ini masih minta bantuan. Sekarang masih fokus untuk pencarian. Kalau submersible vehicle itu untuk evakuasi. Kalau nanti sudah ketemu lokasinya dan ketemu kedalamannya, baru submersible dibutuhkan. Submersible ini biasanya ada awaknya, dan awaknya mengoperasikan," kata Kepala Humas Basarnas Dianta Bangun di Kantor Basarnas, Kemayoran, Jakarta, Senin (29/12).


Sumber : Detik.com